الأربعاء، 26 ديسمبر 2012





1.  Thomas Mattulessy / Kapitan Pattimura (1783 - 1817)

Thomas Mattulessy atau juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura adalah pahlawan Ambon dan merupakan Pahlawan Nasional Indonesia. Ia lahir di HualoySeram SelatanMaluku8 Juni 1783

Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".

Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC, Kapitan Pattimura pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris, sampai akhirnya pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda yang kemudian menetapkan kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat Maluku. Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja. mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan.

Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal tidak. Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara, leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.

Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan "kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula. Kapitan Pattimura meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 (pada umur 34 tahun)


2.  Raden Adjeng Kartini (1879 - 1904)

Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartiniadalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ia Lahir di JeparaJawa Tengah21 April1879Kartini dikenal sebagai Pelopor KebangkitanPerempuan Pribumi.

Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayiatau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama (karena bukan bangsawan tinggi), sehingga mengharuskan ayahnya untuk menikah lagi. Peraturan pada zaman kolonial mengharuskan seorang bupati harus menikah dengan golongan bangsawan

Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hinggaHamengkubuwana VI.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanonyang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderrichtZelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan jugaSolidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) danNasionalisme (cinta tanah air).

Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku (yang kemudian kita kenal dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”).

Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang. Kartini meninggal di RembangJawa Tengah,17 September 1904 (pada umur 25 tahun).

3.  Wage Rudolf Soepratman (1903 - 1938)

Wage Rudolf Soepratman adalah pengarang lagu kebangsaan Indonesia, "Indonesia Raya" dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ia lahir di Jatinegara,Batavia9 Maret 1903. Soepratman adalah anak seorang tentara.

Pada tahun 1914, Soepratman ikut salah satu saudara perempuannya,Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suamiRoekijem yang bernama Willem van Eldik.

Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama tigatahun, kemudian melanjutkannya ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar.

Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Makassar, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal di Jakarta. Dalam pada itu ia mulai tertarik kepada pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.

Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang. Di situ tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke Makassar lagi. Roekijem sendiri sangat gemar akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang membuat Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik.

W.R. Soepratman tidak beristri serta tidak pernah mengangkat anak.

Sewaktu tinggal di Makassar, Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.

Soepratman tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya, pada waktu itu ia berada di Bandung dan pada usia 21 tahun.
Soepratman juga merupakan pencipta lagu ”Ibu Kita Kartini” yang kagum atas pemikiran-pemikiran Kartini dan kemudian menginspirasinya untuk menciptakan lagu tersebut.

Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres itu melahirkanSumpah Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan peserta umum (secara intrumental dengan biola atas saran Soegondo berkaitan dengan kondisi dan situasi pada waktu itu). Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka.

Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage Roedolf Soepratman, tidak sempat menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan.
Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda, sampai jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang terakhir "Matahari Terbit" pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama pandu-pandu di NIROM Jalan Embong Malang,Surabaya dan ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya. Ia meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938(pada umur 35 tahun) karena sakit.

4.  Soedirman (1916 - 1950)

Soedirman atau Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah pada tanggal 24 Januari 1916. Soedirman dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana. Ayahnya, Karsid Kartowirodji, adalah seorang pekerja di Pabrik GulaKalibagor, Banyumas, dan ibunya, Siyem, adalah keturunanWedana Rembang. Soedirman sejak umur 8 bulan diangkat sebagai anak oleh R. Tjokrosoenaryo, seorang asisten Wedana Rembang yang masih merupakan saudara dari Siyem.

Soedirman memperoleh pendidikan formal dari SekolahTaman Siswa. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Surakarta tapi tidak sampai tamat. Soedirman saat itu juga giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi guru di sekolah HISMuhammadiyah di Cilacap.



Ketika zaman pendudukan Jepang, ia masuk tentaraPembela Tanah Air (PETA) di Bogor di bawah pelatihan tentara Jepang.  Setelah menyelesaikan pendidikan di PETA, ia menjadi Komandan Batalyon di KroyaJawa Tengah. Kemudian ia menjadiPanglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR). Dalam sejarah perjuangan Republik Indonesia, ia dicatat sebagai Panglima dan Jenderal RI yang pertama dan termuda. Saat usia Soedirman 31 tahun ia telah menjadi seorang jenderal.



Soedirman dikenal oleh orang-orang di sekitarnya dengan pribadinya yang teguh pada prinsip dan keyakinan, dimana ia selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya, bahkan kesehatannya sendiri. Pribadinya tersebut ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo, pengawal pribadinya semasa gerilya, sebagai seorang yang selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. 



Perang besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan pasukanInggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November sampai Desember 1945. Pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Soedirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa.

Pada masa pendudukan Jepang ini, Soedirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.

Meski menderita sakit yang parah, ia tetap bergerilya dalam perang pembelaan kemerdekaan RI. Ia berpindah-pindah dari hutan satu ke hutan lain, dan dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah dan dalam kondisi hampir tanpa pengobatan dan perawatan medis. Walaupun masih ingin memimpin perlawanan tersebut, akhirnya Soedirman pulang dari kampanye gerilya tersebut karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkannya untuk memimpin Angkatan Perang secara langsung. Setelah itu Soedirman hanya menjadi tokoh perencana di balik layar dalam kampanye gerilya melawan Belanda.

Tanggal 29 Januari tahun 1950 (pada umur 34 tahun) Jenderal Soedirman meninggal di Magelang, Jawa Tengah karena penyakit tuberkulosis paru-paru yang parah dan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di SemakiYogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada tahun 1997 dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh tiga jenderal di RI sampai sekarang, Haji Muhammad Soeharto, Abdul Haris Nasution dan dirinya sendiri.



5. I Gusti Ngurah Rai (1917 - 1946)

I Gusti Ngurah Rai atau Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia lahir di Desa CarangsariPetangKabupaten Badung,Balipada tanggal 30 Januari 1917.



Pada masa perang kemerdekaan, I Gusti Ngurah Rai memiliki pasukan yang bernama "Ciung Wenara" yangmelakukan pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana. (Puputan, dalam BahasaBali, berarti "habis-habisan", sedangkan Margarana berarti "Pertempuran di Marga"; Marga adalah sebuah desa ibukota kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali).

Peristiwa Puputan Margarana  diawali ketika I Gusti Ngurah Rai menolak bekerjasama dengan Belanda untuk mendukung pembentukan Negara Indonesia Timur yang mencakup Bali. Penolakan ini dinilai Belanda tidak beralasan karena Bali sudah dianggap wilayah Belanda sebagaimana hasil perjanjian Linggajati. Namun, Ngurah Rai sendiri tetap menolak apapun alasannya. Kemudian, ia pergi ke Yongyakarta untuk mendapatkan petunjuk dari Pemimpin RI. Setelah mendapat penjelasan bahwa daerahnya termasuk kekuasaan Belanda, walaupun kecewa, ia tetap pada pendiriannya semula, yakni tidak akan bekerjasama dengan pihak Belanda.

Ketika merasa kekuatannya sudah cukup. I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya pada 18 November 1946 mulai menyerang Belanda. Tabanan di gempur dan dia berhasil dengan menyerahnya satu detasemen polisi lengkap dengan senjatanya. Belanda kemudian mengerahkan seluruh kekuatannya yang ada di Bali dan Lombok lengkap dengan pesawat tempur untuk menghadapi pasukan I Gusti Ngurah Rai.

Karena kekuatan pasukan yang tidak seimbang dan persenjataan yang kurang lengkap, akhirnya pasukan I Gusti Ngurah Rai dapat dikalahkan dalam pertempuran puputan atau habis-habisan di Margarana, sebelah utara Tabanan. I Gusti Ngurah Rai meninggal pada tanggal 20 November 1946(pada umur 29 tahun) beserta seluruh pasukanya di medan perang.

Pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra dan kenaikan pangkat menjadi Brigjen TNI(anumerta). Namanya kemudian diabadikan dalam nama bandar udara di Bali, Bandara Ngurah Rai.


6.  Chairil Anwar (1922 - 1949)

Chairil Anwar atau yang dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" Lahir di Medan, 22 Juli 1922. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. 



Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.

Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. 

Penyair yang satu ini memang fenomenal  dan kontroversial. Saat pengaruh Angkatan Pujangga Baru belum surut, sejak 1942, Chairil Anwar sudah mendobrak tata tertib berpuisi. Dalam puisi-puisinya, Chairil memperkenalkan aliran ekspresionisme dalam sastra. Walhasil, puisi-puisinya terkesan penuh tenaga dan radikal untuk masanya. Tengok saja puisinya yang terkenal: “Aku”. Kendati Chairil anwar tidak pernah tamat MULO (SMP), secara otodidak ia mendalami bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman, sehingga karya-karya para pujangga besar seperti Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron.mampu dicernanya. Penulis-penulis ini sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung memengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Dari karya-karya orang asing itu, Chairil lalu menerjemahkan, menyadur, bahkan membuat karya baru. Mungkin karna itulah ia kadang dituding “penjiplak”. Jiwa patriotiknya terlihat dalam karya “Antara Kerawang dan Bekasi”, “Diponegoro”, serta “1945”. “Doa Untuk Isa” seolah mewakili sisi religiusnya. Adapun “Aku” mencerminkan sikap tidak peduli. Ia memang sosok yang kompleks. 

Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil meninggal di Jakarta, tanggal 28 April 1949 (pada usia 27 tahun) karena penyakit TBC. Kepeloporannya diteguhkan oleh H.B. Jassin pada Tahun 1956 dalam bukunya yang berjudul “Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45”.

Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.


7. Robert Wolter Mongisidi (1925-1949)

Robert Wolter Mongisidi lahir pada 14 Februari 1925 di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara. Ia adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus pahlawan nasional Indonesia. Robert Wolter Mongisidi merupakan anak dari pasangan Petrus Monginsidi dan Lina Suawa. 

Dia memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa Belanda: Hollands Inlandsche School (HIS)), yang diikuti sekolah menengah (bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)) di Frater Don Bosco di Manado. Monginsidi lalu dididik sebagai guru bahasa jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa , dan di Luwuk,Sulawesi Tengah, sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.

Monginsidi terlibat dalam perjuangan melawan Belanda di Makassar, dimana Belanda hendak merebut kembali kemerdekaan Indonesia melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda) setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan di Jakarta.

Pada tanggal 17 Juli 1946, Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya melecehkan dan menyerang posisi Belanda. Dia ditangkap oleh Belanda pada 28 Februari 1947, tetapi berhasil kabur pada 27 Oktober 1947. Belanda menangkapnya kembali dan kali ini Belanda menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Monginsidi dieksekusi oleh tim penembak di Makasar, Sulawesi Selatan pada 5 September 1949. 

Robert Wolter Mongisidi meninggal pada usia 24 tahun. Jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November 1950. 

Robert Wolter Monginsidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra(Adipradana), pada 10 November 1973. Ayahnya, Petrus, yang berusia 80 tahun pada saat itu, menerima penghargaan tersebut.

Bandara Wolter Monginsidi di Kendari, Sulawesi Tenggara dinamakan sebagai penghargaan kepada Monginsidi, seperti kapal Angkatan Darat Indonesia, KRI Wolter Monginsidi.


8. Ignatius Slamet Rijadi (1927-1950)


Pada suatu peristiwa saat akan diadakannya peralihan kekuasaan di Solo oleh Jepang yang dipimpin oleh Sutjokan (Walikota) Watanabe yang merencanakan untuk mengembalikan kekuasaan sipil kepada kedua kerajaan yang berkedudukan di Surakarta, yaitu Kasunanan dan Praja Mangkunagaran, akan tetapi rakyat tidak puas. Para pemuda telah bertekad untuk mengadakan perebutan senjata dari tangan Jepang, maka rakyat mengutus Muljadi Djojomartonodan dikawal oleh pemuda Suadi untuk melakukan perundingan di markas Kempeitai (polisi militer Jepang) yang dijaga ketat. Tetapi sebelum utusan tersebut tiba di markas, seorang pemuda sudah berhasil menerobos kedalam markas dengan meloncati tembok dan membongkar atap markas Kempeitai, tercenganglah pihak Jepang, pemuda itu bernama Slamet Rijadi.

Brigadir Jenderal TNI Anumerta Ignatius Slamet Rijadi(EYDRiyadi) lahir di SurakartaJawa Tengah26 Juli1927. Ia anak dari Idris Prawiropralebdo, seorang perwiraanggota legiun Kasunanan Surakarta. Ia sangat menonjoldalam kecakapan dan keberaniannya, terutama setelah Jepang bertekuk lutut dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Ia merupakan pencetus pasukan khusus TNI yang dikemudian hari dikenal dengan nama Kopassus.

Pada tahun 1940, ia menyelesaikan pendidikan di HIS, ke Mulo Afd. B dan kemudian dilanjutkan ke Pendidikan Sekolah Pelayaran Tinggi, dan memperoleh ijasah navigasi laut dengan peringkat pertama dan mengikuti kursus tambahan dengan menjadi navigator pada kapal kayu yang berlayar antar pulau Nusantara.
Slamet Riyadi merupakan pengantin baru, istrinya Ny. Soerachmi bagian kesehatan TNI-AD, baru saja dinikahi saat cuti operasi menumpas RMS. Sayangnya pada saat operasi tersebut ia meninggal akibat tembakan pasukan payung KNIL (salah satu pasukan RMS) di benteng Victoria, Ambon, pada saat merebutnya.

Ada 2 versi tertembaknya:
  1.  : Satu tembakan sniper selanjutnya Slamet Riyadi diseret ajudannya dan naik jip dilanjutkan sampan ke KRI yang menjadi klinik.
  2.  : Diberondong senapan mesin, selanjutnya 1 panser mengevakuasi ke sampan dan dibawa ke KRI yang menjadi klinik.
Saat sampai di KRI, Slamet Riyadi masih hidup tapi tidak sadar dan dalam kondisi kritis. Beliau meninggal pada  4 November 1950, di Ambon, Maluku (pada umur 23 tahun).





9. Pierre Andreas Tendean (1939-1965)

Lettu. Pierre Andreas Tendean lahir di Jakarta, 21 Februari 1939. Ia adalah salah seorang korban pada peristiwa Gerakan 30 September dan merupakan pahlawan nasional Indonesia. Beliau adalah ajudan dariJenderal Besar DR. Abdul Harris Nasution (Menko Hankam/Kepala Staf ABRI) pada era Soekarno. 

Abdul Harris Nasution lolos dari peristiwa penculikan tetapi anaknya, Ade Irma Suryani Nasution tewas tertembus peluru. Pierre Tendean sendiri ditangkap oleh segerombolan penculik dan dibunuh di Lubang Buaya. Ia diculik karena dikira adalah Jenderal Besar DR. A.H. Nasution. Lettu. Pierre Andreas Tendean meninggal diJakarta, 1 Oktober 1965 (pada umur 26 tahun). Beliau dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.








10. Soe Hok Gie (1942 - 1969)

Soe Hok Gie adalah seorang aktivis Indonesia dan Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jurusan Sejarah Tahun 1962-1969. Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).

Soe Hok Gie lahir di Jakarta, 17 Desember 1942. Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.

Setelah lulus dari SMA Kanisius Gie melanjutkan kuliah ke Universitas Indonesia tahun 1961. Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).

Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).

Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.

Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

Hok Gie meninggal di gunung Semeru pada Tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.

24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”


11. Ahmad Wahib (1942 - 1973)

Ahmad Wahib lahir di Sampangpada 9 November 1942. Ia dikenal sebagai pemikir dan pembaharu Islam. Ia dikenal sebagai pembaharu terutama berkat catatan harian yang diangkat menjadi bukuPergolakan Pemikiran Islam (2004) oleh Djohan Effendi dan Ismet Natsir. Dalam catatannya, Wahib mencoba mempertanyakan apa yang sudah ia yakini selama ini mengenai Tuhan, ajaran Islam, masyarakat Muslim, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Dalam satu wawancara, Douglas E. Ramage, seorang Indonesianis lulusan the University of South Carolina menyebut Wahib sebagai salah satu pemikir baru Islam yang revolusioner.

Wahib tumbuh dewasa dalam lingkungan yang kehidupan keagamaannya sangat kuat. Ayahnya adalah seorang pemimipinpesantren dan dikenal luas dalam masyarakatnya. Tapi ia juga adalah orang yang berpikiran luas dan terbuka, yang mendalami secara serius gagasan pembaharuan Muhammad Abduh. Ia menolak objek-objek kultus yang menjadi sesembahan para leluhurnya. Objek-objek ini sangat populer dalam tradisi rakyat Madura, seperti tombak, keris, ajimat, dan buku-buku primbon.

Pembahasan-pembahasan seputar masalah-masalah tersebut menimbulkan ketertarikan kepada persoalan-persoalan yang lebih umum, seperti persoalan apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah “ideologi Islam”? Apakah Islam, dalam kenyataannya, adalah sebuah ideologi? Bagaimanakah sebuahideologi politik dapat dirumuskan demi kepentingan umat Islam di Indonesia? Di mana posisi Islam vis a vis ideologi-ideologi sekular seperti demokrasisosialisme dan Marxisme? Ketertarikan kepada soal-soal ini sejalan dengan corak pertumbuhan Wahib dalam keluarganya.

Semasa Kuliah

Yogyakarta adalah salah satu kota yang secara intelektual dan budaya paling kaya di Indonesia. Ini berperngaruh dalam perkembangan pribadi Wahib. Yogyakarta adalah kota lembaga-lembaga pendidikan. Universitas Gadjah Mada, karena alasan-alasan kesejarahan, memiliki daya tarik yang besar, dan kenyataannya mapu menyedot banya pelajar dari seluruh Indonesia. Di sana juga ada perguruan-perguruan tinggi lain, baik milik swasta maupun pemerintah, yang juga memiliki daya tarik. Termasuk di dalamnya adalah IKIP Sanata Dharma, milik sebuah yayasan Katolik, Universitas Islam Indonesia, dan IAIN Sunan Kalijaga.

Mukti Ali, mengenai kelompok diskusi ini, menyatakan bahwa kelompok tersebut menarik perhatian banyak peserta. Kelompok tersebut juga secara reguler mengundang pembicara-pembicara tamu dari berbagai kalangan, baik orang Indonesia maupun bukan. Kelompok tersebut membahas persoalan-persoalan penting menyangkut masa depan kaum Muslim Indonesia, dalam suatu kerangka yang membuka kemungkinan untuk tumbuhnya gagasan-gagasan baru yang segar. Masalah-masalah teologis yang sublim kerap didiskusikan juga, dan gagasan-gagasan yang dikemukakan seputar masalah tersebut kadang jauh dari apa yang diyakini orang kebanyakan dan bersifat provokatif.

Masa-masa Wahib di Yogyakarta adalah masa-masa yang paling bergolak dalam sejarah Indonesia. Inilah masa ambruknya ekonomi Indonesia dan terjadinya ketegangan-ketegangan politik yang berujung dengan usaha kup oleh PKI pada masa 1965. Sebagai balasan atas kup yang gagal total ini, terjadilah pembunuhan besar-besaran atas mereka yang dituduh antek-antek PKI. Di Jawa Tengah saja, ribuan orang tewas. Ini mengantarkan Indonesia terbentuknya Orde Baru di bawah kepemimpinan JenderalSoeharto. Inilah periode gamang yang meninggalkan luka-luka psikologis si kalangan mereka yang mengalaminya.

Semua unsur di atas (latar belakang keluarga, penyesuaian diri dengan lingkungan baru, dengan konsekuensi meluasnya horizon berfikir secara dramatis, tekanan-tekanan baik bersifat politis maupun personal, dan pembunuhan besar-besaran yang mengerikan lantaran gagalnya kup PKI) jelas turut menentukan berubahnya arah pemahaman Wahib mengenai Islam. Unsur-unsur tersebut pulalah yang pada akhirnya megantarkannya untuk keluar dari HMI pada 30 September 1965. Mungkin bukanlah sebuah kebetulan bahwa tanggal di atas bersamaan dengan hari ulang tahun ke-3 gagalnya kup PKI pada 30 September 1965.

Pada 1971, Wahib menginggalkan Yogyakarta. Tujuannya adalah Jakarta, mencari kerja. Ia pada akhirnya diterima sebagai calon reporter majalah berita mingguan Tempo. Ia juga ikut kursus filsafat diSekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, sebuah perguruan tinggi yag didirikan oleh seorang Jesuit Jawa, Driyarkara. Pada saat yang sama, ia juga ambil bagian dalam pertemuan berbagai kelompok diskusi. Ia bahkan sempat membuat rancangan tema diskusi soal teologi, poitik dan budaya yang sangat ambisisus. Sayangnya, ia wafat tertabrak motor di Jakarta pada 30 Maret 1973.


12. Ade Irma Suryani Nasution (1960 - 1965)

Ade Irma Suryani Nasution adalah putri bungsu Jenderal Besar Dr. Abdul Harris Nasution yang merupakan salah satu jendral berpengaruh pada pemerintahan Orde Lama. Ia lahir pada 19 Februari 1960.  Ade terbunuh dalam peristiwaGerakan 30 September yang berusaha untuk menculikJenderal Besar Dr. Abdul Harris Nasution. Ade yang berumur 5 tahun tertembak ketika berusaha menjadi tameng ayahandanya. Dalam peristiwa tersebut tewas juga ajudan Jenderal Besar Dr. Abdul Harris Nasution yaituLettu. Anumerta Pierre Andreas Tendean. Ia meninggal 6 Oktober 1965 (pada umur 5 tahun).